Dahsyatkan Dirimu dengan Menulis

16 Juni 2009

Buang Rahim

Filed under: Cerpen — Joni Lis Efendi @ 07:13

hamil

Kamu tahu gak siapa aku? Entahlah, aku juga tidak tahu siapa diriku. Aku heran kenapa aku masih bisa berjalan di muka bumi yang penuh cinta ini, binatang saja seperti kucing, anjing, beruang bahkan singa sekalipun sayang pada anaknya, tapi kenapa aku tiada merasakan itu, ke manakah rasa cinta yang ada dalam hatiku. Ahhh…… cinta sepertinya tidak mau singgah kepadaku, tak ada kudapati rasa cinta di dalam ruang sempit itu.

Entahlah sepertinya cinta melarikan diri dariku, malah sekarang aku hanyut dalam kekosongan, cinta membenciku, menaruh dendam padaku, cinta tak dapat kuraih lagi, cinta telah melupakanku, memasukkanku ke ruang hampa tanpa cahaya, entahlah apakah aku membutuhkan cinta esok hari setelah beberapa lama cinta mengabaikanku.

Aku berselimutkan darah hingga ke pinggang. Pekikku tak tertahankan melihat bagian dalam tubuhku terburai hingga memutuskan tali ketakutan yang selama ini kusimpan. Kenapa aku tak merasakan kebahagiaan seperti ibu-ibu lain? Rasa kepedihan yang telah mereka lalui terhapus dengan wajah mungil yang sedang berselimut dalam selembar kain panjang di samping mereka. Kenapa aku tak merasakan itu, malah rasa benci bersemayam dalam hatiku? Aku benci dengan tagisan bayi, apalagi bayi yang tidak kuharapkan.

Aku masih merasakan perih dalam kelumpuhan, perih yang sangat mendalam. Aku masih terpikir apakah aku layak mendapatkan penderitaan ini. Pantaskah aku berkorban sebesar ini hanya demi seorang lelaki yang tak patut dikenang. Perih masih menusuk-nusuk perutku, dokter dan perawat berdatangan, mereka hanya sibuk memberiku obat namun tak menghentikan sakitku.

Aku ingin secepatnya keluar dari penderitaan ini. Berlari, belanja ke mall, ke salon, naik mobil, dan memanjakan tubuh dalam kelembutan spa. Bukannya takdir seperti ini, menjadi seseorang Ibu yang tak berarti. Ini semua gara-gara Toni lelaki sialan yang telah membawaku ke jurang kehancuran. Karena rayuannya aku terjerumus ke lembah nista, aku terusir dari keluarga yang selama ini memanjakanku, memberikan semua apa yang kumau. Namun kini aku berkubang dalam kemelaratan. Toni meninggalkanku setelah semuanya terjadi. Aku mengandung, namun Toni tidak mau bertanggung jawab.

“Maaf dinda, aku harus pergi, orang tuaku ingin aku melanjutkan kuliahku ke Jerman. Mungkin setelah itu kita akan bersama.”
“Tapi…Ton, kandunganku?”
“Ya, aku tahu. Tapi bagaimana lagi, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, aku hanya ingin berkonsentrasi dengan kuliahku. Tunggulah hanya beberapa tahun.”

“Aku tak mungkin menunggumu selama itu, bayi ini akan lahir secepatnya. Bagaimana aku menjelaskan hal ini kepada keluargaku?”
“Itu hanya soal waktu, lama kelamaan mereka juga akan mengerti.”
“Dasar kau, lelaki tak bertanggung jawab!”
“Eh….!! Aku bukan tidak bertanggung jawab. Aku sayang kamu dan juga anak kita. Tapi aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.”
“Itu sama saja dengan kau lari dari tanggung jawab!”
“Sudahlah, jika kau mau menungguku, tunggulah. Namun, aku berharap jangan kau ganggu aku, aku ingin fokus pada pendidikanku. Aku harap jangan menghubungiku. Aku ingin hidup tenang.”

Kini aku harus menanggung nasib malang ini sendirian, Toni seenaknya di luar negeri sedang aku menjalani hidup penuh penderitaan. Jika mengingat Toni, kebencian semakin dalam tumbuh di hatiku, kebencian pada Toni dan juga anaknya. Aku tak mau menyayanginya, apalagi memberinya nama.

***

Sore ini aku akan mengantarkan bayiku ke panti asuhan, meninggalkannya di depan pintu, seperti yang sering kulihat di televisi. Hanya ini cara yang ampuh untuk melupakan Toni. Aku tidak akan merasakan sesal sedikitpun, sebab aku memang menginginkan bayi ini hilang dari kehidupanku.
Rencanaku berjalan dengan lancar, sore itu aku sudah berada di depan panti namun orang-orang masih ramai, aku menunggu hingga larut. Kutinggalkan bayiku dalam balutan kain panjang yang sudah seminggu tidak kucuci.

***

Sebulan sudah berlalu, entah kenapa ada rasa rindu yang mendalam terpendam dalam hatiku. Tiap malam, bayangan anakku selalu datang menghantuiku.

“Engkau bukan manusia wahai, Ibu! Sebaiknya kau buang saja rahimmu, biar tidak ada lagi bayi yang menderita seperti diriku ini.”

Suara itu terngiang-ngiang menghantui hari-hariku. Ada perasaan bersalah, kenapa aku sekejam itu kepada anakku. Kenapa aku tega, padahal dia tidak bersalah. Dia hanya korban dari buah cinta kami yang sesat. Mengapa aku berbuat seperti itu, bayi mungil yang tidak berdosa, bayi suciku.
Hari itu, aku tak tahu, dorongan apa yang telah mengantarkanku ke depan pintu panti. Aku memberanikan diri menemui kepala panti dan menanyakan kabar anakku. Namun, Ibu itu tidak bisa melacak keberadaan anak yang ditinggalkan tanpa mengetahui ciri-cirinya sedikit pun.

“Dia itu anakku, Bu! Tolonglah aku! Aku yang meninggalkannya sebulan yang lalu di depan panti ini….”

“Kami tidak percaya dengan apa yang kau katakan.”
“Benar Bu, akulah ibu bayi itu, aku ingin menyayanginya lagi.”
“Kami tidak bisa memberikan bayi sembarangan kepada orang yang mengaku sebagai Ibunya. Mana ada Ibu yang membuang anaknya di dunia ini, kecuali Ibu gila!”
“Benar, Bu, anak itu anakku!”

“Maaf ya, Bu, kami tidak bisa melayani ibu. Sebaiknya ibu pergi dari tempat ini. Sudah banyak ibu-ibu muda melakukan hal yang sama seperti yang ibu lakukan sekarang. Belakangan, kami sudah tahu kalau itu hanya sebagai alasan, karena kami tahu modus mereka, yaitu sindikat perdagangan anak!”.

“Aku tidak seperti itu, Bu….”
“Pergilah, sebelum kami panggil polisi!”
Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan hal ini kepada mereka, bahwa memang akulah Ibu yang telah tega membuang anak kandungnya sendiri. Tapi mereka tidak percaya….

***

Aku merasa cinta tak akan datang lagi padaku, walaupun aku ingin cinta itu bersemi di dalam hatiku. Cinta terlanjur membenciku. Membenciku untuk selamanya.

Mereka tertawa ke arahku. Aku tak tahu kenapa. Padahal perkataanku benar, bahwa akulah Ibu yang pernah membuang anaknya. Aku masih menunggu sampai ada orang yang percaya padaku, kalau aku ini pernah menjadi seorang Ibu. Namun mereka menjawab dengan lemparan batu ke arahku.
“Awas wanita gila!”

***

Cahaya Buah Hati

anggota Sekolah Menulis “Paragraf” dan FLP cabang Pekanbaru.

Cerpen ini pernah dimuat di Expresi Riau Pos, 10 Mei 2009

Cowok ”Aquarium”

Filed under: Cerpen — Joni Lis Efendi @ 07:04

cerpen-cowok-aquarium

Cerpen:  Sri Nurwidayati

RANI sudah dua bulan ini rajin banget pergi ke perpustakaan umum di kotaku. Sekitar jam delapan pagi, di hari minggu, pasti dia sudah bersiap sedia pergi ke sana. Aku sendiri tak tahu mengapa. Rani hanya bilang, dia sedang mengamati seseorang yang di sebutnya cowok “aquarium.” Awalnya sih Rani penasaran dengan bangunan gedung perpustakaan yang megah itu. Waktu itu aku juga diajak sama Rani untuk menghilangkan penasarannya. Tapi Rani jadi ketagihan. Aku sesekali juga mau datang. Tidak saban minggu kayak Rani. Aku lebih senang menyendiri di kamar untuk nyelesain cerpen atau artikel yang kadang kukirim ke sebuah media. Yah, meski belum tenar seantero nusantara tapi cerpenku kadang muncul di media lokal di kotaku. Honornya cukuplah untuk menambah koleksi bukuku.

Hingga kemudian mulailah ia bercerita setiap pulang dari perpustakaan tentang seorang cowok yang dilihatnya di sebuah ruangan yang berbentuk mirip aquarium, karena dinding-dindingnya terbuat dari kaca berbentuk lingkaran.
“Fat, aku tadi tanpa sengaja ngeliatin cowok yang cool banget deh…”, cerita Rani pada suatu siang menjelang sore, tanpa mempedulikanku yang masih belum bangun dari tidur siangku, kecapekan habis menyetrika.

“Apa, Ran? Es cool?” tanyaku sambil membuka mataku.
“Aduh, Fat…Fat. Makanya, bangun dong! Aku mau cerita nih”, katanya sambil menarik tanganku untuk duduk.
“Ada apa sih, Ran?”
“Fat, tadi aku ngelihat cowok yang, aduh…cool banget di perpustakaan.”
“Cool….cool gimana sih?”
“Gini, Fat. Mata dan wajahnya itu lho teduh banget. Belum pernah aku ketemu cowok yang seperti itu.”
“Teduh gimana sih, Ran. Kayak pohon beringin saja, bikin teduh?!”
“Yah, pokoknya kalau kamu bertemu mata sama dia, pasti nggak ku-ku deh… Dia sih sebenarnya nggak cakep-cakep amat, tapi kayaknya pesonanya bisa membuat hati cewek-cewek membeku deh…”
“Ah, kamu Ran. Sok puitis banget. Kayak sudah kenal aja. Memangnya gimana kamu ketemu cowok itu?”
“Aku sih belum bertemu langsung dengannya. Cowok itu duduk di aquarium perpustakaan. Aku yang duduk menghadap aquarium tanpa sengaja melihat dia. Eh, dianya juga pas ngelihat aku. Tapi cuma sebentar, dia langsung menundukkan wajahnya lagi baca buku.”

Aku masih terdiam menatap Rani yang bercerita dengan penuh semangat.
“Tapi tak lama datang dua cewek, terus deh mereka ngobrol. Kayaknya lagi diskusi. Yah, aku sih masih curi-curi pandang sama dia. Engggg…tapi sebentar…..”, kata Rani sambil memegangi perutnya dan berlari keluar kamar.
Aku sih masih bisa dihitung datang ke perpustakaan itu. Aku kadang sibuk dengan tugas kuliah atau kadang ada acara di organisasi kepenulisan yang kuikuti sejak dua tahun lalu.
“Tapi, Fat, aku bertekad suatu hari nanti aku harus berkenalan dengannya”, suara Rani yang tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar.

“Tapi udahlah ceritanya ya, aku capek, mau istirahat sebentar,” kata Rani sambil berbaring di kasurnya. Dipasangnya headphone ipod-nya, dan tertidur pulas. Kebiasaan Rani yang sering kuprotes, tidur sambil dengerin ipod. Rani cuma menjawab, ”Habis tak bisa tidur, Fat, kalau tak dengerin lagu. Tapi sekalian minta tolong deh matikan ipodku kalau aku ketiduran ya..”
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar jawabannya.
Kutengok jam weker di atas meja belajarku. Jam 3 sore. Sambil menunggu azan Ashar, kuhidupkan komputerku. Ada dua buah puisi yang siap kukirim ke redaksi salah satu koran di kotaku. Minggu kemarin cerpenku juga dimuat di sana. Komputerku ini kubeli juga karena aku juara 2 lomba menulis cerpen tingkat propinsi di kotaku, yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setahun yang lalu. Lama-lama asyik juga menulis, bisa menghasilkan uang.

***
Tiga bulan berlalu Rani masih menjalankan aktivitas mingguannya, yaitu mengunjungi perpustakaan. Ceritanya masih sama tentang cowok itu dan Rani belum juga bisa berkenalan dengannya. Rani…Rani…, semoga engkau jatuh cinta sama buku-buku yang ada di perpustakaan itu, bukan pada cowok yang ada di “aquarium” itu.

***
Namun sudah hampir dua minggu ini Rani tak pernah pergi lagi ke perpustakaan. Ketika kutanyakan sebabnya, Rani menjawab, “Males, Fat, cowok itu sudah hampir sebulan nih tak ada lagi di “aquarium” itu.”
“Habisnya kamu niatnya ke perpustakaan cuma mau melototin cowok itu, jadinya cowok itu merasa risih dan males juga ke perpustakaan. Atau malah ganti tempat, nggak di “aquarium” itu lagi.”
“Eh, siapa bilang cuma melototin cowok itu. Aku pinjem buku juga kok di sana. Tapi boleh kan sambil menyelam minum air gitu…”
“Ya udah, paling-paling kembung perutnya karena kebanyakan minum,” jawabku nggak nyambung.
“Terus gimana, Fat, padahal aku sudah merasa berdesir hatiku sebelum sampai di “aquarium” tempat cowok itu. Kasih ide deh, Fat…”
“Kamu tuh Ran, belum kenal aja sudah jatuh cinta. Tapi begini saja, kamu kelilingi aja perpustakaan itu dari lantai dasar sampai lantai paling atas, siapa tahu ketemu.”
“Ide yang cukup gila, bisa besarlah betisku yang udah nggak ramping ni, Fat!”
“Ya, gimana lagi. Atau untuk mengisi hari minggumu biar lebih bermanfaat, ikut privat menulis saja di organisasiku. Nanti aku bilangin sama yang biasa ngisi privat. Cowok lho, Ran…ganteng lagi.”
”Tapi berapa biayanya? mahal nggak, Fat? Siapa tahu sambil menyelam minum air juga.. hi…hi…hi… ”
“Kamu ini niatnya! Nanti kembung lho!”
“Iya deh, Fat, bercanda. Aku mau kok jadi penulis kayak kamu. Cuma rasanya aku nggak berbakat.”
“Alah, tenang, nggak perlu bakat kok. Yang penting minatnya. Masalah biaya nanti kalau cerpen kamu sudah dimuat di media, barulah dibayar.”
“Wah, sama aja ngutang, Fat. Tapi kalau nggak dimuat-muat berarti nggak bayar dong?”..
“Eit, tunggu dulu…Pak Guru privatnya garansi sampai bisa dimuat kok…”
“Ok deh kalau gitu, aku mau. Pesenin ya, Fat, kalau aku mau privat nulis.”
“Ok, besok aku ada pertemuan. Nanti kutanyakan bagaimana, di mana dan kapannya. Tunggu aja besok.”

***

Akhirnya privat menulis itu sepakat pertemuannya dilaksanakan di perpustakaan kota setiap hari minggu. Di “aquarium” di lantai satu jam setengah sembilan pagi. Ketika kusampaikan hal itu pada Rani, Rani terkejut.
“Kok di “aquarium” perpustakaan?”.
“Memangnya kenapa, Ran? ‘Kan enak di ruang diskusi tak mengganggu orang lain.”
“Enggak apa-apa sih, cuma di “aquarium” lantai satu itu mengingatkanku pada cowok cool itu. Di sanalah dia sering berdiskusi”.

“Alah, Ran, kamu selalu teringat sama cowok “aquarium” itu. Memangnya yang pakai “aquarium” hanya cowok itu apa? Lagian Bang Dani yang nanti ngajar privat kamu bilang kalau nanti ruang diskusi lantai satu terisi, ya pindah ke tempat lain, begitu pesannya.”
“Ya, udah deh…Tapi jadi ngingetin aku sama cowok itu, Fat…”
“Udahlah, Ran, nanti untuk pertemuan pertamanya aku temenin deh…”

***
Akhirnya waktu yang telah disepakati tiba. Aku dan Rani berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Kami sudah duduk manis menunggu di “aquarium” sambil membaca koran yang bisa dipinjam gratis di sana. Tak lama Bang Dani pun datang. Aku berbisik pada Rani yang sedang asyik membaca sambil menunjuk seseorang yang berjalan menuju “aquarium” ini. Segera Rani menoleh menuju orang yang kusebut. Namun sesaat Rani bengong dan wajahnya merah padam bak kepiting rebus. Segera dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil berkata, ”Fat, itu cowok cool yang sering kuceritakan itu…”

“Jadi cowok itu Bang Dani, Ran…?”
Rani hanya menganggukkan kepalanya sambil ditelungkupkan wajahnya ke meja. Sesaat aku pun hanya bisa terdiam tak tahu harus berbuat apa, hingga salam Bang Dani menyapa kami. ***

Sri Nurwidayati,
Jalan Jati Gg Jati 2 No 10, Pekanbaru

Cerpen ini pernah dimuat di Expresi Riau Pos, 14 Juni 2009

11 April 2009

Saat Siska Pergi

Filed under: Cerpen — Joni Lis Efendi @ 04:22

intan

Cerpen: Intan Amlan (Ruwaida Muthia)

Pagi hari pukul delapan lewat lima belas menit, Bu Ratna tidak masuk hari ini, Siska berencana akan sarapan ke kantin seperti biasanya, memesan lontong sayur Bu De yang sangat lezat di tenggorokan. Saat tiba-tiba Rita mendekatinya,

“Sis, kau punya uang dua ratus ribu?”

”Buat apa, Ta?” entah mengapa pertanyaan itu keluar dari mulut Siska, kebetulan tadi malam abangnya yang baru bekerja memberikan bonus karena menerima gaji pertama. Dan sekarang, ia hanya memastikan kalau uang yang akan diberikannya dipergunakan untuk hal yang baik.

Aku harus membayar biaya rumah sakit Ayu, adikku yang check up di RSUD tadi pagi, seharusnya ia memeriksa bekas kecelakaannya dua bulan yang lalu, tapi ia baru sempat memeriksanya tadi hari ini, itupun setelah kulihat ia menahan sakit di tangannya dan aku memaksanya untuk check up pagi ini juga walau bagaimanapun. Ibuku belum sempat memberikan kiriman buat kami.”

”Ada nih,” kukeluarkan uang dua ratus ribu seperti yang dimintanya dan langsung memberikannya.

”Akan kuganti setelah ibu memberikan kiriman tambahan,” katanya dengan malu-malu.

Siska memutar badannya ke arah taman kampus, habis sudah uangnya, untunglah kosnya sangat dekat dengan kampus FKIP sehingga ia tidak perlu lagi mengeluarkan ongkos, cukup berjalan kaki sepuluh menit saja. Namun ia harus makan nasi putih saja karena persediaan lauknya telah habis beberapa hari yang lalu. Bukan masalah bagi Siska karena ia bisa berkunjung ke kos temannya dan makan di sana.
***
22 September 1998, dua minggu sudah berlalu dari saat Rita meminjam uangnya, Siska sedikit gelisah, banyak biaya yang harus dikeluarkannya untuk mencari tugas setelah seharian di warnet, namun hasil yang diperoleh tak kunjung terlihat, ia harus ke warnet lagi besok, dari pagi hingga siang dan itu memakan biaya yang sangat banyak.

Sis, aku mau ngembaliin uang yang kupinjam bulan lalu, kamu di mana?

Sebuah pesan singkat terlihat di layar Nokia siang ini telah menyelamatkan Siska, segera saja dibalasnya tanpa menunggu lama.

Di warnet Global, ke sini saja, kutunggu.

Dilihatnya sebuah kepala bundar nongol dari pintu masuk warnet, Siska mengangkat tangan kanannya memberi tanda kalau ia sedang duduk dipojok ruangan.

”Cari tugas?” tanya Ayu, teman satu kampus yang meminjam uangnya sebulan yang lalu, Ayu terlihat lebih segar, meskipun masih kurus namun ia tidak pucat lagi seperti biasanya.

”Yup. Seperti biasa. Kamu terlihat segar, Yu.”

”Iya, setelah berobat perasaanku agak mendingan. Nih.” katanya seraya menyodorkan uang seratus ribu pada Siska. ”makasih, ya Sis. Aku berhutang banyak sama kamu, meskipun bayarnya angsuran, tapi ngak apa kan sis?”

”Biasa aja lagi..” kalimat yang biasa digunakan Siska untuk membuat tema-temannya tidak kaku saat berkomunikasi dengannya.
***

”Ma, kirim duit lagi ya, banyak tugas ni. Yang kemarin sudah habis.”
”Lha, bukannya uang yang mama kirim kamarin sudah berlebih? Kamu selalu meminta tambahan setiap bulannya, lihat abang Bobi, dia tidak pernah meminta uang tambahan saat kuliah.”

”Bang bobi kan laki-laki ,Ma. Dia bekerja sambilan sampai larut malam. Mama mau Siska juga kerja sampai larut malam di kampus?”

”Iya, mama tahu. Tapi ini baru tanggal dua puluh, Mama kirim kamu sejuta setiap bulannya, kalau dihitung-hitung dengan uang tambahan yang kamu minta jadinya SATU JUTA LIMA RATUS RIBU HANYA UNTUK KAMU SAJA SETIAP BULANNYA SISKA.” mama menegaskan lagi ucapannya, sebenarnya setiap siska meminta uang tambahan, kalimat andalan mama hanya itu ke itu, siska selalu punya alasan bagus untuk meminta uang. Ia tidak pernah memberi tahukan kemana uang bulanannya itu pergi.

Dipinjam. Hanya satu kejadian yang membuat Siska kekurangan uang. Namun ia tidak pernah mengatakan hal itu pada mama.

”Warnet di kampus mahal, ma. Siska harus mengerjakan tugas sampai berjam-jam.”

”Ya sudah, Mama kirim ke ATM kamu nanti siang. Tapi ingat. HEMAT.” Mama menutup pembicaraan setelah sepuluh menit bicara sendiri panjang lebar, siska sudah biasa dengan hal itu, hampir setiap bulan dialaminya.
Sebenarnya uang siska cukup banyak kalau saja teman-temannya mengembalikan uang yang mereka pinjam dengan tepat waktu. Mulai dari lima puluh ribu, seratus, dua ratus, bahkan lima ratus ribu pun dipinjam oleh teman-teman Siska. Namun biasanya Siska harus mneunggu beberapa bulan untuk menerima uang itu kembali, ia pun tidak pernah menagih uang yang dipinjam itu. Ia sendiri tahu, temannya lebih membutuhkannya. Apa boleh buat, Siska harus meminta tambahan pada mama setiap bulannya.

Siska bukanlah orang kaya, mama tinggal di rumah sewaan di desa. Kedua kakak dan abangnya sudah bekerja, namun bukan Siska saja yang harus dibiayai, masih ada tiga orang adiknya yang sedang kuliah juga. Itulah yang membuat mama pusing setiap kali Siska meminta uang tambahan, karena mama tidak bisa memberi tambahan pada ketiga adiknya. Setidaknya uang yang dikirim oleh kakak dan abangnya akan dipergunakan mama juga untuk membeli rumah pribadi hingga tidak perlu menyewa lagi.

”Ma, duit kemarin sudah habis.” siska memulai pembicaraan.

”Mau tambahan lagi?”

”Iya, ma. Lima puluh Ribu saja.” Siska berbohong, ia membutuhkan dua ratus lima puluh ribu untuk mendaftar ujian akhir. Namun ia berniat akan meminjam pada temannya untuk menutupi kekurangan itu.

”Besok mama kirimkan. Tapi ingat, diHEMAT.” mama menegaskan ucapannya lagi.

”Makasih Ma, Siska sayang Mama.”
***
”Kak, kirim dit dong,” Siska pernah mencoba membujuk kakaknya yang sudah bekerja untuk memberikan uang tambahan, padahal baru berselang lima belas hari uang bulanannya dikirim mama. Namun uang itu langsung saja dipinjam oleh Ratih yang orang tuanya tak mampu mengirim uang bulanan.

Baru beberapa menit ia mengatakan hal itu pada kakaknya, tiba-tiba telpon mama memanggilnya, kakak pasti melapor dengan mama, pikir Siska. Ternyata benar saja, ”Mama dengar kamu minta uang dengan kakak ya? Kan sudah mama…bla…bla…bla” ya deh, besok kalau minta uang langsung ke mama aja ya…klik. telpon ditutup.
***
2 Januari 1999, Siska baru saja menyelesaikan ujian skripsinya, hatinya begitu gembira. Ingin ia melompat, memeluk dan berteriak kepada siapapun kalau ia sudah tamat kuliah. Ia tidak sabar ingin memberi tahu mama kalau mama tidak perlu khawatir lagi dengan uang tambahan yang selalu dikirim di tanggal dua puluhan, Siska tidak akan memintanya lagi. Ia berjaji.

Dilajukannya motor pinjaman mencari kounter penjualan pulsa, ia akan menelpon mama. Entah mengapa siska mengarahkan Jupiter ke luar kampus, ditambahnya kecepatan karena saking gembiranya. Memasuki arena jalan di luar kampus, diliriknya kiri dan kanan jalan kalau ada toko yang buka. Ada banyak pilihan di luar sini. Dilihatnya satu kounter yang buka, segera saja Siska membelokkan motornya setelah memberikan tanda dengan lampu sen.

Namun sebuah motor menyenggolnya dengan kecepatan tinggi dari belakang. Siska terjatuh, kecelakaan tidak dapat dihindari. Siska sempat berguling beberapa kali. Sampai sebuah truk menghantam kepalanya.

”Allahu Akbar.”

Tidak ada yang mendengar bisikan reflek dari lidahnya kecuali kedua telinganya sesaat sebelum truk itu melindasnya dengan kecepatan tinggi.
***
Rumah duka itu masih ramai oleh kerabat dan teman-teman Siska. Terlihat mama yang masih diam, entah apa yang dipikirkannya. Tatapannya kosong.

”Bu, kak, bang, kami akan kembali ke kota. Kami mohon maaf sebesar-besarnya apabila kami memiliki kesalahan. Yang disengaja atau tidak. Untuk Siska, insya Allah tidak ada lagi yang perlu kami maafkan. Doa kami, semoga Amal ibadahnya diterima disisi Allah.”

”Kami sebagai keluarga juga mohon maaf dengan adik-adik semuanya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Siska, kalau ada masalah, silahkan dikatakan saja, jangan ragu. Mudah-mudahan menjadi kemudahan bagi nya nanti.”

”Oh iya, ini kak, bu, bang. Saya pernah meminjam uang siska. Jadi karena siska sudah tidak ada, saya kembalikan dengan ahli warisnya.” Ayu angkat bicara dan menyerahkan amplop pada abang Siska.

”Saya juga.” kata Rita seraya menyerahkan amplop pada Bang Bobi.

”Ini, saya juga” Sandra mengeluarkan amplop

Dari teman-teman Siska yang datang, sekitar dua puluh orang memberikan amplop yang berisi uang pinjaman. Spontan saja keluarga siska terkejut dibuatnya. Bahkan ada yang memberikan titipan dari teman yang meminjam, namun tidak bisa hadir ke pemakaman.

”Baiklah, mungkin ini ada bantuan dari teman-teman Siska di kampus, sebagai uluran tangan, mudah-mudahan bisa membentu keluarga yang ditinggalkan nantinya.” Pak Priyo menutup kinjungan kali ini. Entah apa yang mereka rasakan. Aneh memang, saat tiba-tiba teman-teman Siska serentak mengembalikan uang yang pernah dipinjamkan Siska, sementara pihak keluarga Siska terkejut karena ternyata Siska meminta uang tambahannya agar duit bulanannya tertutupi. Ini memang diluar dugaan semuanya.
***
Sepuluh menit setelah teman-teman Siska kembali ke kota, Kakak Siska mulai membuka amplop yang diberikan teman-temannya, setelah semua uangnya dikeluarkan, dilihatnya uang itu rata-rata adalah lembaran lima puluh ribuan, banyak sekali. Mama sempat menangis lagi karena tidak percaya.

Sepuluh juta. Inikah uang yang dipinjamkan siska pada teman-temannya selama empat tahun ia kuliah? Uang yang tidak sedikit, bahkan dengan uang itu, kerusakan motor yang dipinjam Siska saat kecelakaan bisa di atasi, dengan sisanya ditambah uang yang diberikan oleh teman-teman kakak, abang dan adik-adik Siska, mereka bisa membeli rumah sederhana didesa, dengan harga murah.

Mama menangis lagi, entah apa yang dipikirkannya. ”Siska”. Bisiknya lirih. Air mata terus bergulir tanpa bisa ditahan lagi. ”Sis…”

Pekanbaru, 28 Desember 2008
”Maaf ya, Ma, aku tak mampu menolak saat orang-orang meminta tolong padaku. Aku tak mampu menolong mereka jika nanti mereka sudah mampu menolong diri mereka sendiri. Jadi, kutolong mereka sekarang…”

Blog di WordPress.com.